MANFAAT KEDAULATAN RAKYAT DI NEGARA DEMOKRASI

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian
Kedaulatan berasal dari kata “daulat” daulat dalam bahasa Arab artinya “kekuasaan atau dinasti pemerintahan”. Oan masih ada arti kedaulatan dalam bahasa-bahasa yang lai misalnnya ;
- Istilah dari bahasa Inggris kedaulatan artinya SOUVERIGNITY.
- Istilah dari bahasa Perancis kedaulatan artinya SOUVERAINETE
- Istilah dari bahasa Italia kedaulatan artinya SOVRANSI
- Istilah dari bahasa latin kedaulatan artinya SUPERAMUS

Makna dari istilah-istilah di atas kesemuanya memiliki arti “tertinggi”. Jadi kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi atau kekuasaan yang tidak terletak di bawah kekuasaan tertentu atau kekuasaan yang tertinggi yang ada dalam suatu Negara.

2.2 Jenis kedaulatan
Menurut Jean Bodin (1500 - 1590), Ada dua jenis kedaulatan yaitu:
a. Kedaulatan ke dalam (intern), yaitu kekuasaan tertinggi di dalam negara untuk mengatur fungsinya. Pemerintah berhak mengatur segala kepentingan rakyat melalui berbagai lembaga negara dan perangkat lainnya, tanpa campur tangan negara lain. Kedaulatan ke dalam merupakan kedaulatan yang dimiliki suatu negara untuk mengatur dan menjalankan organisasi negara sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku di negara tersebut, dan rakyat harus patuh dan tunduk dengan apa yang digariskan pemerintah.

b. Kedaulatan ke luar (ekstern), yaitu kekuasaan tertinggi di dalam negara untuk mengadakan hubungan dengan negara lain serta mempertahankan wilayah dari berbagai ancaman dari luar. Negara berhak mengadakan hubungan atau kerjasama dengan negara lain guna kepentingan nasionalnya.

Kedaulatan ke I,uar merupakan kedaulatan yang berkaitan dengan wewenang untuk mengatur pemerintahan dan menjaga keutuhan wilayah suatu negara yang sepatutnya juga dihormati negara lain. Pelaksanaan konsep kedaulatan ke luar seperti adanya hubungan diplomatik, perjanjian antarnegara, hubungan dagang dan sosial budaya.

2.3 Teori  kedaulatan
Terdapat beberapa teori kedaulatan yang dikemukakan oleh para ahli kenegaraan, antara lain sebagai berikut.
1) Teori Kedaulatan Tuhan
Teori kedaulatan Tuhan mengajarkan bahwa negara dan pemerintahmendapat kekuasaan yang tertinggi dari Tuhan. Menurut teori in.i, sesungguhnya segala sesuatu yang terdapa-t di alam semesta berasal dari Tuhan.

Kedaulatan dalam suatu negara yang dilaksanakan oleh pemerintah negara juga berasal dari Tuhan. Negara dan pemerintahan mendapat kekua$aan dari Tuhan karena tokoh-tokoh negara itu, secara kodrati telah ditetapkan menjadi pemimpin negara. Mereka berperan sebagai wakil Tuhan. Raja misalnya, bertugas memimpin rakyatnya untuk mencapai suatu cita-cita. Oleh karena itu, kepemimpinan dan kekuasaan harus berpusat di tangan raja.

Teori kedaulatan Tuhan umumnya dianut olehraja-raja yang mengakui sebagai keturunan dewa. Misalnya, raja-raja Mesir kuno, Kaisar Jepar.lg, dan Kaisar Cina. RajSl-raja di Jawa pada zaman Hindu, juga menganggap dirinya sebagai penjelmaan dewa Wisnu. Pelopor¬pelopor teori kedaulatan Tuhan, antara lain adalah Augustinus, Thomas Aquino, dan Friedrich Julius Stahl. 

2) Teori kedaulatan Raja
Kekuasaan negara, menurut teori ini, terletak di tangan raja sebagai penjelmaan kehendak Tuhan. Raja merupakan bayangan dari Tuhan. Agar negara kuat, raja’ harus berkuasa mutlak dan tidak terbatas. Dalam teori kedaulatan raja, posisi raja selalu berada di atas undang-undang. Rakyat harus rela menyerahkan hak asasinya dan kekuasaannya secara mutlak kepada raja.

Peletak dasar teori kedaulatan raja, antara lain Nicollo Machiavelli, Jean Bodin Thomas Hobbes, dan Hegel. Nicollo Machiavelli mengajarkan, bahwa negara yang kuat haruslah dipimpin oleh seorang raja yang memiliki kedaulatan tidak terbatas atau mutlak. Dengan demikian, raja dapat melaksanakan cita-cita negara sepenuhnya. Raja hanya bertanggung jawab kepada .dirinya sendiri atau kepada Tuhan.

Raja tidak tunduk kepada konstitusi, walaupun disahkan oleh dirinya sendiri. Raja juga tidak bertanggung jawab kepada hukum moral yang bersumber dari Tuhan, karena raja melaksanakan kewajibannya untuk rakyat atas nama Tuhan.

3) Teori kedaulatan rakyat
Teori kedaulatan rakyat, yaitu teori yang mengatakan bahwa kekuasaansuatu negara berada di tangan rakyat sebab yang benar-benar berdaulat dalam suatu negara adalah rakyat.

Sumber ajaran kedaulatan rakyat ialah ajaran demokrasi yan,g telah dirintis sejak jaman Yunani oleh Solon. Istilah demokrasi berasal dari kata Yunani, demos (rakyat) dan kratein (memerintah) atau kratos (pemerintah). Jadi, demokrasi mengandung pengertian pemerintahan rakyat, yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk,rakyat.

Rakyat merupakan suatu kesatuan yang dibentuk oleh individu-individu melalui perjanjian masyarakat. Rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi memberikan haknya kepada untuk kepentingan bersama. Penguasa dipilih dan ditentukan atas dasar kehendak rakyat melalui perwakilan yang duduk di dalam pemerintahan. Pemerintah yang berkuasa harus mengembalikan hak-hak sipil kepada warganya.”

Pelopor teori kedaulatan rakyat
a) J.J. Rousseau, berpendapat ,bahwa negara dibentuk oleh kemauanrakyat secarE sukarela. Kemauan rakyat untuk membentuk negara itu disebut kontrak sosial. Rousseau juga berpendapat bahwa negara yang terbentuk melalui perjanjian masyarakat harus menjamin kebebasan dan persamaan.
b) Montesquieu, beranggapan bahwa kehidupan bernegara dapat terptur dengan baik, sebaiknya kekuasaan dibagi tiga, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudik’atif.
c) John Locke, berp’endapat bahwa manusia mempunyai hak pokok, yaitu hak hidup, hak kemerdekaan, dan hak milik.

Selain itu, John juga mengajarkan asas-asas terbentuknya negara adalah sebagai berikut.
a)  Pactum unionis, yakni perjanjian antar individu untuk mer.nbentuk negara;
b) Pactum subjectionis, yaitu perjanjian antara individu dengan negara yang dibentuk itu. Artinya, individu memberikan mandat kepada negara atau pemerintah selama pemerintah berdasarkan konstitusi atau undang-undang negara.

Dalam negara yang menganut teori kedaulatan rakyat terdapat ciri-ciri sebagai berikut.
1) Adanya lembaga perwakilan rakyat atau dewan perwakilan rakyat sebagai badan atau majelis yang mewakili dan mencerminkan kehendak rakyat,
2) Untuk mengangkat dan menetapkan anggota majelis tersebut, pemilihan dilaksanakan untuk jangka waktu tertentu. Rakyat yang telah dewasa secara bebas dan rahasia memilih wakil atau partai yang disenangi atau dipercayai.
3) Kekuasaan atau kedaulatan rakyat dilaksanakan oleh badan perwakilan rakyat, yang bertugas mengawasi pemerintah.
4) Susunan kekuasaan badan atau majelis itu ditetapkan dalam undang-undang negara.

4) Teori kedaulatan negara
Menurut teori kedaulatan negara, kekuasaan tertinggi terletak pada negara. Sumber atau asal kekuasaan yang dinamakankedaulatan itu ialah negara. Negara sebagai lembaga ‘tertinggi kehidupan suatu bangsa, dengan sendirinya memiliki kekuasaan. Jadi, kekuasaan’ negara ialah kedaulatan negara yang timbul bersamaan dengan berdirinya negara.

Teori kedaulatan negara yang bersifat absolut dan mutlak ini berdasarkan pandangan bahwa negara adalah penjelmaan Tuhan. Hegel mengajarkan bahwa negara dianggap suci karena . sesungguhnya negara adalah penjelmaan kehendak Tuhan. Negara mewarisi kekuasaan yang bersumber dari Tuhan. Berdasarkan teori kedaulatan negara, pemerintah adalah pelaksana tunggal kekuasaan negara. Teari ini dianggap sebagai sebwah ajaran yang paling absolut sejak zaman Plato hingga Hitler-Stalin.

Negaralah yang menciptakan hukum dan negara tidak wajib tunduk pada hukum. Namun karena negara abstrak, kekuasaan diserahkan kepada raja atas nama negara. Peletak dasar teori kedaulatan negara, antara lain Paul Laban, George Jellinek, dan Hegel

5) Teori kedaulatan hukum
Teori kedaulatan hukum, yaitu paham yang tidak disetujui oleh paham kedaulatan negara. Menurut teori kedaulatan hukum, kekuasaan tertinggi dalam negara terletak pada hukum. Hal ini berarti, bahwa yang berdaulat adalah lembaga atau orang yang berwenang mengeluarkan perintah atau lara[lgan yang mengikat semua warga negara. Lembaga yang dimaksud adalahpemerintah dalam arti luas. Di Indonesia, lembaga itu adalah presiden bersama para menteri sebagai pembantunya dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Di Inggris, lembaga itu adalah raja bersama parlemen.

Berdasarkan pemikiran teori ini, hukum membimbing kekuasaan pemerintahan. Yang dimaksud dengan hukum menurut teori ini ialah hukum yang tertulis (undang-undang dasar negara dan peraturan perundangan lainnya) dan hukum yang tidak tertulis (convensi). Pelopor teori kedaulatan hukum, antara lain Immanuel Kant, H. Krable, dan Leon Dubuit.

2.4 Manfaat kedaulatan rakyat
Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi penganut paham demokrasi. Seperti dapat diketahui dari penelitian Amos J. Peaslee pada tahun  950, dari 8  UUD negara-negara yang diperbandingkannya, terdapat 74 negara yang konstitusinya secara resmi menganut prinsip kedaulatan rakyat (90%). Memang harus diakui sampai sekarang istilah demokrasi itu sudah menjadi bahasa umum yang menunjuk kepada pengertian sistem politik yang diidealkan dimana-mana. 

Padahal dulunya, pada zaman Yunani kuno, dari mana istilah demokrasi itu pada awalnya berasal, istilah demokrasi itu mempunyai konotasi yang sangat buruk. Demokrasi (demos + cratos atau demos + kratien) dibayangkan orang sebagai pemerintahan oleh semua orang yang merupakan kebalikan dari konsep pemerintahan oleh satu orang (autocracy). Baik demokrasi maupun otokrasi, menurut pengertian umum di zaman Yunani kuno sama-sama buruknya. Karena itu, yang diidealkan adalah ‘plutokrasi’ (pluto + cracy), yaitu pemerintahan oleh banyak orang, bukan hanya dikendalikan oleh satu orang; tetapi banyaknya orang itu tidak berarti semua orang ikut memerintah, sehingga keadaan menjadi kacau dan tidak terkendali.

Sekarang, konsep demokrasi itu dipraktekkan di seluruh dunia secara berbeda-beda dari satu negara ke negara lain. Setiap negara dan bahkan setiap orang menerapkan definisi dan kriterianya sendiri-sendiri mengenai demokrasi itu. Sampai sekarang, negara komunis seperti Kuba dan RRC juga tetap mengaku sebagai negara demokrasi. Ia sudah menjadi paradigma dalam bahasa komunikasi dunia mengenai sistem pemerintahan dan sistem politik yang diangap ideal, meskipun dalam prakteknya setiap orang menerapkan standar yang berbeda-beda, sesuai kepentingannya masing-masing.

Oleh karena itu, bisa saja pada suatu hari nanti, timbul kejenuhan atau bahkan ketidakpercayaan yang luas mengenai kegunaan praktis konsep demokrasi modern ini. Jika itu terjadi, niscaya orang mulai akan menggugat kembali secara kritis keberadaannya sebagai sistem yang dianggap ideal. Sekarang saja, sudah makin banyak sarjana yang mulai menaruh kecurigaan dan bahkan menilai bahwa sebenarnya konsep demokrasi itu sendiri juga hanya mitos. Mimpi demokrasi hanyalah utopia, yang kenyataannya di lapangan tidaklah seindah gagasan abstraknya.

Namun, terlepas dari kritik-kritik itu, yang jelas, dalam sistem kedaulatan rakyat itu, kekuasaan tertinggi dalam suatu negara dianggap berada di tangan rakyat negara itu sendiri. Kekuasaan itu pada hakikatnya berasal dari rakyat, dikelola oleh rakyat, dan untuk kepentingan seluruh rakyat itu sendiri. Jargon yang kemudian dikem- bangkan sehubungan dengan ini adalah “kekuasaan itu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Bahkan, dalam sistem ‘participatory democracy’, dikembangkan pula tambahan ‘bersama rakyat’, sehingga menjadi “kekuasaan pemerintahan itu berasal dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat dan bersama rakyat”.

Pengertian mengenai kekuasaan tertinggi itu sendiri, tidak perlu dipahami bersifat monistik dan mutlak dalam arti tidak terbatas, karena sudah dengan sendirinya kekuasaan tertinggi di tangan rakyat itu dibatasi oleh kesepakatan yang mereka tentukan sendiri secara bersama-sama yang dituangkan dalam rumusan konstitusi yang mereka susun dan sahkan bersama, terutama mereka mendirikan negara yang bersangkutan. Inilah yang disebut dengan ‘kontrak sosial’ antara warga masyarakat yang tercermin dalam konstitusi. Konstitusi itulah yang membatasi dan mengatur bagaimana kedaulatan rakyat itu disalurkan, dijalankan dan diselenggarakan dalam kegiatan kenegaraan dan kegiatan berpemerintahan sehari-hari.

Pada hakikatnya, dalam ide kedaulatan rakyat itu, tetap harus dijamin bahwa rakyatlah yang sesungguhnya pemilik negara dengan segala kewenangannya untuk menjalankan semua fungsi kekuasaan negara, baik di bidang legislatif, eksekutif, maupun judikatif. Rakyatlah yang berwenang merencanakan, mengatur, melaksanakan, dan melakukan pengawasan serta penilaian terhadap pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan itu.

Bahkan lebih jauh lagi, untuk kemanfaatan bagi rakyatlah sesungguhnya segala kegiatan ditujukan dan diperuntukkannya segala manfaat yang didapat dari adanya dan berfungsinya kegiatan bernegara itu. Inilah gagasan kedaulatan rakyat atau demokrasi yang bersifat ‘total’ dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat dan bersama rakyat.

Hanya saja, karena kebutuhan yang bersifat praktis, gagasan demokrasi ini dianggap perlu dilakukan melalui prosedur perwakilan. Dari sinilah munculnya ide lembaga perwakilan atau lembaga parlemen dalam sejarah. Dalam sistem ‘representative democracy’ ini tentu ada saja usaha untuk mengebiri pengertian kedaulatan rakyat itu. Karena itu, dalam sejarah pernah muncul pengertian kedaulatan rakyat yang bersifat totaliter. Bung Karno dan Soepomo pernah terjebak dalam pengertian totaliter ini ketika mereka berdua pernah mengidealkan konsep negara yang disebut oleh Soepomo sebagai negara integralistik. Dalam konsep integralistik itu diidealkan bahwa rakyat dan pemimpinnya bersatu padu, yang secara bersama-sama menjadi satu kesatuan organis yang membentuk negara, sehingga rakyat yang berdaulat dalam sistem demokrasi atau kedaulatan rakyat itu adalah rakyat dalam arti keseluruhan, bukan orang per orang rakyat.

Jika kedaulatan rakyat dipahami dalam konteks orang per orang, maka pandangan demikian dianggap oleh Soekarno dan Soepomo sebagai pandangan yang dipengaruhi oleh paham individualisme dan liberalisme. Atas dasar pengertian demikian itu pulalah maka semula Soekarno dan Soepomo sama-sama menolak ide untuk mencantumkan pasal-pasal tentang hak asasi manusia ke dalam UUD. Atas dasar itu juga Soepomo, pada tanggal  8 Agustus,  945, masih mengusulkan agar ketentuan Pasal   yang menegaskan bahwa “segala keputusan MPR ditetapkan dengan suara yang terbanyak” supaya dihapus dari UUD. Untungnya, Bung Hatta menolak pencoretan itu dengan menyatakan: “Saya tidak setuju kalau dicoret, sebab ketentuan itu berdasarkan kedaulatan rakyat.

Meskipun kedua soal itu akhirnya terselesaikan dalam arti berhasil disepakati tidak seperti usulan Soekarno dan Soepomo, tetapi sejarah telah mencatat bahwa ide semacam itu pernah muncul dalam awal perjalanan sejarah pemikiran kenegaraan kita di Indonesia. Karena itu, ketika pada zaman Orde Baru, paham semacam itu muncul kembali, mudah dimengerti. Seperti dimaklumi, pandangan integralistik ten- tang negara kembali muncul di zaman Orde Baru dalam bentuknya yang baru. MPR dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat, dan DPR dianggap sudah menjadi perwakilan rakyat yang bersifat mutlak. Apapun aspirasi rakyat dituntut supaya disalurkan hanya kepada dan melalui MPR dan DPR. Hak mogok ataupun unjuk rasa dilarang. Kebebasan pers juga dibungkam, kemerdekaan berserikat dibatasi. Pluralisme horizontal ataupun vertikal diseragamkan di bawah jargon pentingnya memelihara ‘persatuan dan kesatuan’. 
Seolah-olah adanya sistem dan lembaga perwakilan rakyat bersifat mutlak. Namun, di masa reformasi dewasa ini, semua itu sudah berlalu. Kedaulatan rakyat sesuai dengan hakikatnya, tidaklah berkurang sedikitpun hanya karena ada lembaga perwakilan rakyat. Badan-badan perwakilan itu hanyalah sarana atau bahkan salah satu bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatannya. Selain badan atau lembaga perwakilan rakyat itu, masih ada media komunikasi massa, yang disebut sebagai pers yang secara bebas dapat dijadikan sarana mengungkapkan dan menyalurkan aspirasi, pendapat, dan pikiran-pikiran yang didasarkan atas kehendak bebas setiap rakyat sendiri.

Di samping itu, masih tetap ada kebebasan untuk berserikat, berunjuk rasa, dan sebagainya, yang dalam literatur disebut sebagai ‘representation in ideas’ yang tetap dimungkinkan meskipun sudah ada lembaga parlemen. Dengan perkataan lain, keberadaan badan atau lembaga perwakilan rakyat itu sama sekali tidak dapat mengurangi makna kedaulatan yang dimiliki oleh rakyat yang berdaulat itu.

Selain itu, seperti disebut di atas, kedaulatan dan dalam hal ini kedaulatan rakyat sebagai konsep tentang kekuasaan tertinggi yang ada di tangan rakyat dapat dilihat dari segi ruang lingkupnya (scope of power), dan juga dapat dilihat dari segi jangkauan kekuasaannya (domain of power). Lingkup kedaulatan rakyat itu menyangkut kegiat- an apa saja yang dilakukan dalam lingkup kedaulatan rakyat itu, sedangkan jangkauan kedaulatan menyangkut siapa yang menjadi ‘penguasa’ atau pemegang kekuasaan tertinggi itu dan siapa ‘subjek’ yang dijangkau oleh pengaruh kekuasaan itu. Yang terakhir ini berkenaan dengan hubungan kekuasaan antara “the subjects” dan “the sovereign”.

Dalam hubungan dengan lingkup kegiatannya, ide kedaulatan rakyat meliputi proses pengambilan keputusan, baik di bidang legislatif maupun di bidang eksekutif. Artinya, rakyat mempunyai otoritas tertinggi untuk menetapkan berlaku tidaknya suatu ketentuan hukum dan mempunyai otoritas tertinggi untuk menjalankan dan mengawasi pelaksanaan ketentuan hukum itu. Dengan perkataan lain, rakyat berdaulat, baik dalam perencanaan, penetapan, pelaksanaan, maupun evaluasi dan pengawasan terhadap pelaksanaan produk hukum yang mengatur proses pengambilan keputusan dalam dinamika penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang berkaitan dengan nasib dan masa depan mereka sendiri sebagai rakyat negara yang bersangkutan.



BAB III
PENUTUP

1.1  Kesimpulan
Dengan demikian, dalam konsep demokrasi, pemerintahan suatu negara merupakan pemerintahan oleh rakyat. Hanya saja, dalam pengertian zaman sekarang, pengertian pemerintahan disini tidak lagi diharuskan bersifat langsung melainkan dapat pula bersifat tidak langsung atau perwakilan (representative government). Atas dasar prinsip demikian itulah, kekuasaan pemerintahan dibagi-bagi ke dalam beberapa fungsi, yang atas pengaruh Montesquieu, terdiri atas fungsi-fungsi legislatif, eksekutif, dan judikatif. Dalam negara yang menganut kedaulatan rakyat, pembagian ketiga fungsi itu tidak mengurangi makna bahwa yang sesungguhnya berdaulat adalah rakyat. Semua fungsi kekuasaan itu tunduk pada kemauan rakyat yang disalurkan melalui institusi yang mewakilinya. Di bidang legislatif, rakyat mempunyai otoritas tertinggi untuk menetapkan berlaku tidaknya produk legislatif.

Di bidang eksekutif, rakyat mempunyai kekuasaan untuk melak- sanakan atau setidak-tidaknya mengawasi jalannya roda pemerintahan, serta melaksanakan peraturan yang ditetapkannya sendiri. Demikian pula di bidang judikatif, pada hakikatnya, rakyatlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi untuk mengambil keputusan akhir dan tertinggi mengenai fungsi judikatif. Artinya, siapapun yang melaksanakan fungsi-fungsi itu di dalam praktek penyelenggaraan negara, sumber kekuasaan yang dimilikinya pada dasarnya adalah daulat rakyat. Sementara itu, konsep jangkauan kedaulatan (domain of sovereignty), mempersoalkan hubungan antara ‘subject’ dan ‘sovereign’, yaitu soal apa atau siapa yang didaulat dan apa atau siapa yang berdaulat. Mengenai siapa atau apa yang berdaulat, seperti diuraikan di atas, dikenal adanya lima teori kedaulatan dalam sejarah, yaitu Kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Raja, Kedaulatan Negara, dan Kedaulatan Rakyat serta Kedaulatan Hukum.

Namun, sejauh mengenai apa atau siapa yang didaulat oleh pemegang kedaulatan ini, timbul problem ilmiah yang tidak mudah. Secara teoritis atau demikianlah kenyataannya dalam sejarah, yang dapat didaulat itu adalah orang atau barang (benda kekayaan). Dalam sejarah, kedua hal itu dibedakan orang sejak zaman Romawi kuno melalui konsep ‘imperium’ versus ‘dominium’. ‘Dominium’ merupakan konsep mengenai ‘the rule over things by the individuals’, sedangkan ‘imperium’ merupakan konsep mengenai ‘the rule over all individuals by the prince’. Kedua hal inilah yang menurut pendapat saya berperan penting dalam perkembangan pemikiran di kemudian hari mengenai demokrasi politik dan demokrasi ekonomi sebagai fenomena mengenai kedaulatan rakyat di bidang politik dan kedaulatan rakyat di bidang ekonomi.




DAFTAR PUSTAKA

Bambang Tri purwanto, Sunardi.2010.khazanah kewarganegaraan 1. Jakarta: Tiga Serangkai Pustaka mandiri.
Bambang Tri purwanto, Sunardi.2010.khazanah kewarganegaraan 2. Jakarta: Tiga Serangkai Pustaka mandiri.



Previous
Next Post »

2 comments

Click here for comments

diharapkan kritik dan sarannya yang bisa membangun untuk menjadi lebih baik lagi. Terimakasih... Salam Sukses... :) ConversionConversion EmoticonEmoticon

Thanks for your comment