Disadari atau tidak, kini kita
hidup pada zaman “jungkir balik” dimana manusia sangat mengagung-agungkan
segala sesuatu yang bersifat duniawi dan mengabaikan isyarat-isyarat langit
yang menyuarakan kebenaran. Orang kaya lebih dipuja dan dihormati daripada
ulama atau pendeta. Pejabat yang berkuasa dengan menghalalkan segala cara lebih
didengar dan ditaati dari pada mereka yang jujur dan lurus. Manusia serakah
yang dengan rakusnya menguras sumber daya alam lebih dibela daripada mereka
yang menyerukan pentingnya kelestarian alam. Pencetus peperangan dan penindasan
duduk dalam singgasana kehormatan, sedangkan penyeru kemanusiaan terusir dari
negerinya, karena kalau bertahan mereka akan dijamu dengan racun kematian,
bahkan kadang-kadang “hilang” begitu saja bagai ditelan bumi. Orang kuat
semakin dilindungi hak-haknya, sedangkan orang-orang kecil dan papa semakin
diperberat beban hidupnya.
Tatanan nilai dan sistem di
masyarakat ikut pula “jungkir balik”. Agama, moral, etika, hukum, tidak lebih
hanya sekedar kosmetik atau formalitas pelengkap status. Materi dan kekuasaan
yang seyogianya sebagai alat kini telah berubah menjadi tujuan hidup. Jabatan
dan harta telah berubah menjadi berhala-berhala modern. Di puja-puji oleh
masyarakat yang dalam kesehariaanya selalu dibodohi dengan pengagungan materi,
kenikmatan duniawi, dan dibius oleh tayangan mistik-mistik murahan berlatarkan
agama. Pada akhirnya berlakulah tatanan masyarakat “jungkir balik” dimana
banyak urusan di dalamnya hanya bisa diselesaikan dengan uang…. Dan kini kita
telah terperangkap kedalamnya.
Sudah menjadi ketetapan dari
langit bahwa sebuah negeri yang sudah terperosok ke dalam jurang pemujaan
berhala niscaya akan ditimpa bencana kehancuran, kecuali jika didalamnya masih terdapat
manusia-manusia pejuang gigih pembawa Cahaya Langit. Siapakah mereka itu….???
Disisi lain, di batas “Gunung-hutan Larangan” terdapat kelompok manusia yang hidup di luar tatanan kebendaan. Cara hidup mereka seperti “tidak masuk akal” bagi kebanyakan orang karena mengabdi atas keinginan sendiri, tanpa diminta, dan tanpa meminta imbalan. Bahkan seringkali mengeluarkan biaya sendiri untuk melakukan kegiatannya. Dan lebih “tidak masuk akal” lagi karena mereka berkerja bukan untuk diri sendiri tapi untuk kepentingan orang banyak.

Kemudian mereka menjadi lebih
peka membaca gejala-gejala alam disekitarnya. Ketika manusia-manusia mengeruk
sumber daya alam dengan serakah dan membuat kerusakan dimana-mana, mereka yang
paling awal merasakan sakitnya. Mereka paham bahwa kehancuran dan bencana alam yang
datang kemudian menimpa manusia pada awalnya di sebabkan oleh manusia juga.
Oleh karena itu dengan “Cinta” itulah mereka menjaga kelestarian “Gunung-hutan Larangan” yang tidak lain merupakan “pasak-pasak” penjaga keseimbangan bangunan bumi. Bangunan bumi inilah yang memayungi dan menyediakan kebutuhan bagi kelangsungan hidup makhluk-makhluk di dalamnya.

Cintalah yang menggerakkan mereka
untuk mengabdi, dan Cinta sangatlah luhur dibandingkan pamrih kebendaan, karena
merupakan pengejawantahan Cahaya Langit. Mereka sebagai pengemban Cinta itu
biasa dipanggil dengan sebutan “Volunteer”
Volunteer… Jadilah manusia-manusia pejuang gigih pembawa Cahaya Langit.
Sumber : Buletin
Wanadri
Edisi : Dunia Lumut Pegunungan Dempo
Website : http://www.wanadri.org
diharapkan kritik dan sarannya yang bisa membangun untuk menjadi lebih baik lagi. Terimakasih... Salam Sukses... :) ConversionConversion EmoticonEmoticon